Analisis mengenai terjadinya krisis di Asia, termasuk Indonesia, banyak dilakukan sejak timbulnya gejolak yang berkembang menjadi krisis ini. Saya kira hal ini akan berlangsung cukup lama; menganalisis mengenai sebab tedadinya, pola-pola proses terjadinya, kesamaan dan perbedaan kasus yang satu dengan yang lain, mengapa demikian dan bagaimana menghindarinya di masa depan atau apa yang dapat diambil sebagai pelajaran dari krisis ini. Berbagai pakar terkenal dari berbagai universitas ataupun lembaga-lembaga penelitian di A.S., Eropa dan Asia telah, sedang dan akan melakukan studi mengenai permasalahan ini. Nama-nama ahli ekonorni terkemuka, seperti Paul Krugman, Rudi Dombusch, Martin Feldstein, Fred Bergsten, Jeffrey Sachs, Stanley Fischer dan banyak yang lain telah memenuhi media cetak dan elektronik yang menyebar luaskan pandangan atau analisis mereka mengenai permasalahan ini. Kebanyakan tulisan mereka dapat diikuti dari internet dengan mudah. Saya sendiri baru saja pulang dari perjalanan selama lebih dari satu bulan di berbagai negara, memenuhi berbagai undangan pertemuan yang membahas masalah serupa.
Saya tidak akan membahas pendapat-pendapat tersebut, kecuali secara singkat mencoba mensarikan bagaimana kita menerangkan apa yang terjadi. Kalau dilihat dari proses terjadinya, krisis tersebut didahului oleh suatu euphoria, adanya pertumbuhan yang tinggi dalam kurun waktu yang lama yang digambarkan sebagai economic miracle a.l. oleh Bank Dunia) timbul perkembangan yang menampakkan tanda-tanda adanya bubbles seperti ekspansi real estates yang kelewat besar dan pertumbuhan pasar saham yang luar biasa bersamaan dengan masuknya dana luar negeri berjangka pendek secara berlebihan). Dalam keadaan tersebut kemudian timbul gejolak yang menyebabkan suatu distress dan melalui dampak penularan yang sistemik (contagion effects) menjadi crisis. Krisis tersebut semula terjadi di sektor keuangan-perbankan, kemudian melebar menjadi krisis ekonomi yang secara sistemik melebar menjadi krisis sosial, politik dan akhimya krisis kepemimpinan nasional. Ini mungkin lebih tepat untuk digunakan menggambarkan perkembangan krisis di Indonesia, akan tetapi secara umum apa yang terjadi di negara-negara lain di Asia, terutama Thailand dan Korea Selatan, juga serupa.
Uraian saya dimulai dengan menyajikan terjadinya krisis secara kronologis. Akan tetapi, secara analitis saya berpendapat bahwa krisis ini terjadi karena timbulnya gejolak ekstern yang melalui proses dampak penularan yang sistemik melanda ekonomi nasional. Dengan struktur keuangan yang masih lemah, maka perkembangan tersebut menimbulkan krisis yang meluas, dari ekonomi-moneter ke seluruh aspek kehidupan masyarakat. Proses penularan ini terjadi karena lemahnya struktur ekonomi, tatanan sosial, hukum dan politik yang mempertajam masalah ini menjadi sistemik. Setelah itu saya akan membahas berbagai hal yang menyangkut pelajaran apa yang dapat kita tarik bagi para pelaku; para perumus kebijaksanaan, dunia usaha utamanya sektor keuangan dan masyarakat luas, termasuk dunia akademi.
Uraian, cacatan ataupun pesan ini saya kemukakan dengan harapan untuk memadukan upaya kita bersama, seluruh unsur yang mendukung gerakan reformasi total, guna keluar dari krisis ini, agar dalam waktu yang tidak terlalu lama dan korban yang tidak terlampau besar, mampu mengembalikan kehidupan ekonomi nasional tagi dengan sikap baru, hasil dari langkah-langkah pembaruan bangsa yang didambakan oleh gerakan reformasi.
"Kalau memang salah, akui saja. Tapi kalau tidak, tidak ada salahnya sedikit qffensif, apabila masih dalam jalur hukum yang benar," cetus Farid.
Seorang pengusaha (importir) ingin menempatkan dananya di Bank Syariah X, sebesar Rp 100 milyar dengan system bagi hasil (mudharabah). Dia juga bermaksud membuka LC import di bank syariah tersebut. Dana invetasi outstanding tersebut sekaligus menjadi backup penerbitan LC. Kasus ini mirip dengan pembiayaan back to back. Secara resiko, hal ini aman dan menguntungkan bagi bank syariah. Cuma masalahnya, Nasabah tersebut, meminta bank syariah untuk memberikan bagi hasil di depan selama 6 bulan. Misalnya, proyeksi bagi hasil Rp 1 milyar perbulan, maka bank syariah diminta olehnya untuk memberikan bagi hasil Rp 6 milyard di depan. Untuk penambahan modalnya dalam menjalankan usaha impor. Pertanyaan, 1. Bolehkan pemberian bagi hasil di depan, sedangkan usaha bank dalam mengelola dana belum terjadi?. 2. Jika tidak boleh apa alasannya ,dan akad apa yang tepat digunakan untuk memenuhi kebutuhan nasabah tersebut?. Jika bank syariah menolak permintaan tersebut, maka
bank syariah berarti membuang peluang yield yang menguntungkan...
bank syariah berarti membuang peluang yield yang menguntungkan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar